Sabtu, 30 Januari 2010

Maleo (plw)

Palu, 5/6 (ANTARA) - Populasi burung maleo (Macrocephalon maleo) di kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) di Kabupaten Poso dan Donggala, Sulawesi Tengah saat ini berkisar 450-600 ekor.
Kepala Balai Besar TNLL, Ir Widagdo MM di Palu, Kamis, mengatakan, untuk melestarikan dan meningkatkan populasi burung meleo di kawasan hutan konservasi itu, pihaknya sejak 1997 telah membangun proyek penangkaran di desa Saluki, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Donggala.
Desa Saluki yang menjadi lokasi proyek penangkaran maleo, termasuk salah satu dari 69 desa yang berada di sekitar kawasan TNLL, dan sejak dilakukan penangkaran, populasi satwa endemik itu setiap tahunya terus meningkat.
Ia mengatakan, lokasi penangkaran maleo di desa Saluki berada duatas areal hutan seluass dua hektar.
Menurut dia, dari sistem pemeliharaan reproduksi alami yang dilakukan petugas Balai Besar TNLL, setiap bulannya rata-rata 20 ekor anak maleo hasil penangkaran dilepas kembali ke habitatnya.
sarana dan prasarana pemeliharaan reproduksi alami maleo di lokasi penangkaran di desa Saluki terbilang saat ini sudah cukup memadai.
Upaya pelestarian dengan sistem penangkaran merupakan solusi paling tepat untuk menghindari burung maleo dari ancaman kepunahan, dan sekaligus meningkatkan kembali populasinya.
Ia menjelaskan, burung maleo mempunyai berat sekitar tiga kg dengan panjang paruh sampai ke ekor kurang lebih 23 cm. Dalam keadaan berdiri normal, ukuran badan antara jantan dan betina hampir sama.
Maleo betina pada bagian punggungnya berwarna hitam dan dibagian dadanya putih bersih serta badan tertutup oleh bulu yang pendek sekitar 2-5 cm.
Sementara maleo jantan pada bagian dadanya berwarna putih kemerah-merahan, bulu sayap berwarna hitam dengan panjang 25 cm dan panjang leher sekitar 14 cm. Bagian atas kepala maleo betina maupun jantan masing-masing tertutup genjer dengan bentuk seperti topi baja berwarna hitam dengan tebal sekitar 2 cm dan tingginya 2,5 cm.
Musim bertelur burung maleo sepanjang tahun, namun puncaknya pada sekitar bulan Mei-Oktober. Dalam setahun burung yang lebih senang berjalan dari pada terbang itu bisa memproduksi telur 8-12 butir.
Untuk memproduksi satu butir telur, maleo membutuhkan waktu 7-9 hari, dan telur dibenamkan induk maleo pada lubang yang digali sendiri sampai menetas dengan bantuan panas secara geothermal.
Sementara seorang petugas polisi kehutanan TNLL, Herman Sasia secara terpisah mengatakan, setiap harinya para petugas proyek penangkaran maleo di desa Saluki masuk-keluar hutan mencari telur-telur maleo untuk selanjutnya dibawa ke tempat pemeliharaan reproduksi alami.
Bagi orang awam mencari telur maleo cukup sulit, karena maleo membuat sarang-sarang tipuan, dan memungkinkan dari 10 sarang yang dibuat hanya satu lubang yang berisi telur.
Tapi bagi mereka yang sudah ahli, mencari telur maleo tidaklah sulit. Anak burung maleo yang baru menetas diberi pakan dari jagung giling halus, kemiri dan kelapa.
Setelah berumur dua bulan, anak maleo hasil reproduksi dilepas kembali ke habitatnya.
Lokasi penangkaran maelo di desa Saluki selain berfungsi sebagai sarana pendidikan dan penelitian, juga merupakan salah satu obyek wisata yang akhir-akhir ini banyak dikunjungi wisatawan dari dalam maupun luar negeri.
Bahkan ada sejumlah LSM dalam negeri dan internasional melakukan penelitian tentang satwa endemik itu.